Friday, February 21, 2014

Mengenal Disfungsi ereksi, penyakit yang paling di takuti laki-laki, dan penyebab nya


Disfungsi ereksi merupakan masalah yang cukup kompleks bagi pria
dan dapat menurunkan kualitas hidup. Risiko menderita DE meningkat seiring dengan
semakin bertambahnya usia. Sekitar 15-25% pria yang berusia diatas 65 tahun mengalami
masalah ini. Angka ini akan semakin meningkat jika disertai dengan penyakit-penyakit
kronis seperti diabetes, hipertensi, jantung, penyakit paru kronis, dll. Namun masih
banyak penderita DE enggan membicarakan serta mengkonsultasikan masalah ini kepada
dokter.


Beberapa alasan yang dikemukakan pasien DE antara lain gengsi, menganggap hal
tersebut tabu untuk dibicarakan, seringkali pasangan tidak mengeluhkan karena dianggap
wajar sejalan dengan usia lanjut, dll. Rendahnya pengetahuan masyarakat juga menjadi
salah satu penyebab kurangnya minat untuk mengkonsultasikan gangguan ini. Sebagian
masyarakat bahkan lebih suka membicarakannya di luar bidang medis.

Faktor risiko dan penyebab DE yang merupakan hal penting untuk ditelaah sering
terabaikan dalam pemeriksaan gangguan ini. Padahal dengan mengetahui terlebih dahulu
penyebab/ faktor risiko DE tersebut dengan benar terapi yang tepat dapat diberikan.
Demikian beberapa hal yang mengemuka pada acara Seminar Media hari ini.
Disfungsi Ereksi (DE) didefinisikan sebagai ketidakmampuan untuk mencapai, atau
mempertahankan ereksi penis secara adekuat dalam kurun waktu 3 bulan terakhir untuk
dapat melakukan hubungan seksual secara memuaskan. Kondisi tersebut dapat
menyebabkan ketidakharmonisan dalam hubungan dengan pasangan.

“Disfungsi Ereksi pada dasarnya dikelompokkan menjadi 2, yaitu psikogenik dan organik.
Psikogenik adalah DE yang disebabkan oleh masalah psikologis, misalnya cemas dan
depresi sedangkan DE organik berkaitan dengan masalah kelainan atau kerusakan
struktur anatomic seperti gangguan pembuluh darah, system syaraf atau kondisi jaringan
penis yang tidak normal. Selain itu juga dapat disebabkan oleh gangguan hormon laki-laki
yang disebut testosteron. Faktor lain juga bisa disebabkan oleh penggunaan obat-obatan
atau kerusakan akibat trauma dan operasi di daerah perut dan prostat,” buka Dr.dr.Nur
Rasyid, SpU, urolog senior FKUI-RSCM.

“Hilangnya minat pada aktifitas seksual, ukuran testis yang mengecil, penurunan tandatanda
seksual sekunder seperti bulu rambut , kekuatan otot, suara menjadi mengecil
seperti anak-anak, kadar testosteron rendah merupakan ciri khas DE yang disebabkan
masalah hormonal. Pada kelainan tumor kelenjar hypofisis dapat terjadi peningkatan
kadar prolaktin yang tinggi, sehingga akan menekan produksi hormon testosterone.
Keadaan ini akan menimbulkan keluhan gangguan fungsi ereksi. DE dapat juga disebabkan
oleh efek samping obat-obatan anti hipertensi yang dapat mengganggu sistem syaraf
pusat,” lanjutnya.

Saat ini kecenderungan angka kejadian DE terjadi pada usia relatif lebih muda,
diperkirakan terjadi akibat dari stress yang berlebihan dan berkesinambungan yang
didapat baik ditempat kerja maupun di lingkungan rumah tangga, pola hidup yang tidak
teratur serta kurangnya aktivitas olah raga serta merokok.

“Masalah DE dapat dikatakan seperti fenomena gunung es, jumlahnya diperkirakan lebih
besar daripada yang terdiagnosa. Anjuran melakukan pemeriksaan menyeluruh terhadap
pasien yang dicurigai mengalami disfungsi ereksi akan sangat membantu agar dalam
melakukan penegakan lebih cepat dan melaksanakan terapi yang tepat,” ditekankannya
lebih lanjut.

Pada kesempatan yang sama, dr.Em Yunir, SpPD, KEMD, ahli endokrin FKUI-RSM
mengemukakan, “Saat melakukan evaluasi terhadap keluhan disfungsi ereksi harus
dipikirkan kemungkinan adanya kelainan metabolik atau penyakit kronis lain yang
menjadi penyebabnya. Kelainan metabolik (sindrom metabolik) dapat menjadi salah satu
penyebab timbulnya DE. Pada penyakit sindrom metabolik dapat menyebabkan
terjadinya gangguan produksi testosteron. Pada sindrom metabolik akan dijumpai
penurunan kadar testosteron (hipotestosteron) pada sekitar 30-40% penderita. Keadaan
ini akan mempengaruhi DE pada banyak pasien.”

“Orang dengan obesitas, diabetes dan hipertensi akan berisiko dua kali lebih tinggi
memiliki kadar hormon testosteron yang rendah. Padahal kadar hormon testosteron yang
normal akan mempertahankan tingkat energi, menimbulkan mood serta dorongan
seksual yang baik. Di RSCM tercatat sebanyak 40 % pria penyandang diabetes mengalami
DE. Oleh karena itu deteksi dini adanya DE pada penyandang diabetes sangat dianjurkan
terutama pada usia produktif. Deteksi dini dilakukan untuk mengetahui permasalahan DE
dengan jeli sehingga kualitas hidup pasien dapat ditingkatkan,” ujar dr.Yunir.

“Pria dengan diabetes sangat dianjurkan untuk mengontrol gula darahnya secara teratur,
segera mencari pengobatan jika mengalami DE dengan berkonsultasi ke dokter,
menghindari pemakaian obat-obatan yang dapat menyebabkan DE serta menerapkan
gaya hidup sehat, seperti tidak merokok atau minum alkohol. Kami menghimbau kepada
masyarakat untuk lebih memahami DE serta penyebabnya, menjalankan pola hidup
sehat,” himbau dr.Yunir.

Tentang tatalaksana pengobatan DE, Dr.dr.Nur Rasyid menjelaskan, “Tata laksana
Disfungsi Ereksi harus dilakukan secara holistik atau tidak hanya memperhatikan faktor
tertentu saja. Pengobatan yang diberikan disesuaikan dengan penyebabnya dan keluhan
yang menyertainya. Strategi pengobatan diarahkan pada beberapa masalah, yaitu apakah
penyebabnya psikis atau organik, tingkat dan lama menderita DE serta memeriksa ada
tidaknya gangguan metabolik. Di samping itu, perlu diperiksa apakah ada kekacauan
hormonal akibat dari resistensi insulin pada diabetes, apakah ada efek dari obat-obatan
yang dipakai dalam waktu lama (jangka panjang) serta meneliti ada tidaknya indikasi atau
kontraindikasi.”

“Kami di Lilly berkomitmen untuk memastikan kebutuhan dan kesehatan klien menjadi
fokus riset kami yang diaplikasikan melalui laboratorium menjadi obat-obatan yang
inovatif serta kolaborasi kami dengan organisasi ilmiah ternama. Untuk mencapai tujuan
ini, upaya meningkatkan kesadaran publik mengenai Disfungsi Ereksi akan membantu
individu menyadari bahwa DE dapat diobati dan mereka tidak perlu malu untuk
mengkonsultasikannya serta menyadari faktor risiko kondisi tersebut,“ dikatakan Dr Jude
Selvaraj, Medical Director Eli Lilly Indonesia.

0 comments:

Post a Comment

Site Search