Tuesday, February 18, 2014

Fakta mengenai penyakit epilepsi di dunia


Ajakan untuk lebih peduli terhadap epilepsi diserukan di seluruh dunia
dalam rangka menyambut World Purple Day yang diperingati setiap tanggal 26 Maret setiap
tahunnya. Penyakit epilepsi, yang menyerang sekitar 1% penduduk dunia ini harus dikontrol
karena dapat menurunkan kualitas hidup penyandang epilepsi (PE). Kepatuhan PE terhadap
pengobatan, tingginya stigma pada PE sendiri dan keluarga (self-stigma) dan stigma masyarakat
(sosial) merupakan masalah yang sering terjadi pada PE. Di samping itu, perlu didorong
terbentuknya komunitas PE yang berbentuk kelompok bantu diri untuk berbagi pengalaman dan
memotivasi kemandirian mereka. Edukasi mengenai epilepsi kepada masyarakat juga penting
untuk terus menerus dilakukan. Demikian beberapa kesimpulan yang mengemuka dalam Seminar
Media yang diselenggarakan Perhimpunan Penanggulangan Epilepsi di Indonesia (PERPEI) dan PT
Abbott Indonesia hari ini.

Dalam sambutannya, dr.Fitri Octaviana, SpS, MP d.Ked, Ketua PERPEI Jakarta mengatakan, “Angka
kejadian epilepsi saat ini masih tinggi terutama di negara berkembang. Belum diketahui
penyebab yang pasti, namun diduga terdapat beberapa faktor ikut berperan, misalnya perawatan
ibu hamil, keadaan waktu melahirkan, trauma lahir,kekurangan gizi dan penyakit infeksi.”
“Angka insidens epilepsi di negara berkembang mencapai 50-70 kasus per 100.000 penduduk.
Indonesia dengan jumlah penduduk sekitar 240 juta maka diperkirakan jumlah pasien epilepsi
berkisar antara 1,3-16,8 juta jiwa,” ujarnya lebih lanjut, “Namun masih banyak PE yang belum
terdata karena banyak PE yang malu mengakui mereka sebagai penyandang epilepsi. Sebagian
besar masyarakat masih menganggap epilepsi sebagai penyakit kutukan. Stigma buruk pada PE
inilah yang harus dihilangkan sehingga PE dapat hidup sejajar dengan masyarakat lainnya tanpa
merasa rendah diri.”
World Purple Day merupakan sebuah gerakan Internasional yang menyerukan kepedulian
terhadap penyakit epilepsi. World Purple Day bertujuan untuk meningkatkan kesadaran
masyarakat dunia akan epilepsi, serta memberikan dukungan terhadap kepatuhan pengobatan PE.
World Purple Day mengajak seluruh masyarakat di seluruh dunia untuk mengenakan pakaian
berwarna ungu serta menyelenggarakan acara sebagai bentuk dukungan terhadap epilepsi.
“Peringatan World Purple Day di Indonesia diharapkan dapat menjadi ajang kesadaran tentang
epilepsi untuk seluruh lapisan masyarakat serta menghimbau pemerintah untuk memberikan
dukungan penuh kepada penyandang epilepsi,” himbaunya.
Pada kesempatan yang sama, dr.Suryani Gunadharma,SpS (K) mengemukakan, “Epilepsi
merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh pelepasan muatan listrik berlebihan dan berkala
dari sekelompok sel di otak. Hal ini menyebabkan PE menunjukkan gejala hanya pada saat
serangan, diluar serangan performa penyandang seperti keadaan kesehariannya. Inilah yang
membuat penyakit ini unik, sehingga sering disalahartikan dengan kesurupan, kerasukan, kegilaan,
dan lain sebagainya. Sebagian besar PE dapat terkontrol dengan obat anti epilepsi, dan hanya
sebagian kecil yang sulit terkontrol. Tanpa pengobatan yang tepat akan timbul gangguan fungsi
otak yang lebih berat , hal ini akan menyebabkan semakin seringnya serangan.”
Dalam penjabarannya, ia mengatakan, “Hal penting yang perlu dipahami dokter dan msyarakat
adalah mengenal bangkitan epilepsi dan membedakannya dengan bangkitan non epilepsi.
Bangkitan epilepsi merupakan bangkitan berulang yang terjadi tanpa provokasi, tanpa sebab yang
akut, misalnya trauma kepala. Di samping itu, terdapat bermacam-macam bentuk bangkitan
epilepsi, tergantung bagian otak mana yang diserang, bisa berbentuk bangkitan umum
(menyerang seluruh bagian otak) atau bangkitan parsial/fokal. Banyaknya macam bangkitan inilah
yang seringkali mengakibatkan kesalahan diagnosa epilepsi yang membawa konsekuensi
kesalahan pengobatan. Di samping itu, pasien kadangkala tidak dapat menceritakan bangkitan
yang dialaminya dan dalam hal ini memerlukan bantuan saksi mata yang melihat kejadiannya.
Oleh karena itu, dokter harus cermat dalam mengevaluasi dan menegakkan diagnosa epilepsi.
Edukasi dan sosialisasi tentang epilepsi terhadap dokter umum juga harus secara berkala
dilakukan untuk menghindari kesalahan diagnosa tersebut. Apabila ditemui kasus epilepsi yang
sulit diatasi, dokter harus merujuk pada dokter spesialis. Hal ini penting mengingat jika epilepsi
terdiagnosa secara dini, maka terapi epilepsi juga dapat dilakukan secara dini dan hasil yang
didapatkan akan semakin baik.”
“Penyandang epilepsi harus patuh terhadap pengobatan dan perlu memahami bahwa
pengobatan epilepsi bersifat jangka panjang . Selain itu, PE dihimbau untuk kontrol ke dokter
secara teratur mengingat apabila tidak diterapi, epilepsi dapat mengakibatkan semakin luasnya
area kerusakan otak yang berdampak pada menurunnya fungsi otak. ” lanjutnya.
“Masyarakat yang memiliki anggota keluarga penyandang epilepsi diharapkan dapat memotivasi
mereka untuk patuh terhadap pengobatan, menjalankan pola hidup sehat serta segera membawa
PE berkonsultasi ke dokter jika muncul keluhan,” himbaunya.
Dalam presentasinya, dr.Suryo Dharmono, SpKJ (K) menjelaskan, “Epilepsi harus terkontrol
dengan baik agar risiko munculnya masalah psikiatri semakin kecil. Depresi pada epilepsi tercatat
cukup tinggi, yaitu sekitar 30-50%. Jika epilepsi terkontrol dengan baik, maka peluang hidup tanpa
serangan akan semakin meningkat pula sehingga risiko depresi semakin kecil dan kualitas hidup
PE pun semakin baik.”
“Self stigma dan stigma sosial merupakan masalah yang sering dialami PE dalam aktivitas mereka
dalam masyarakat. Pada beberapa kasus self-stigma oleh keluarga, keluarga melakukan proteksi
berlebihan yang membatasi kegiatan PE dan pada akhirnya justru meningkatkan depresi. Di
samping itu, stigma sosial juga dilakukan masyarakat pada PE yang sering mengalami kejang,
misalnya di tempat kerja yang tentunya akan meningkatkan kemungkinan depresi pada PE. Oleh
karena itu penting dilakukan destigmatisasi dan membangun persepsi positif terhadap PE melalui
edukasi yang dilakukan secara berkesinambungan mulai dari tingkat sekolah dasar. Media
memiliki peran penting untuk menyebarluaskan informasi tentang epilepsi ” lanjutnya.
Dalam penjabarannya, ia mengemukakan bahwa saat ini sangat penting dibangun komunitas atau
kelompok bantu diri PE. Dalam kelompok ini, PE dapat secara bebas dan terbuka berbagi
pengalaman sehingga saling dapat meningkatkan motivasi untuk hidup mandiri. Masyarakat dan
pemerintah diharapkan dapat mendukung terbentuknya komunitas ini.
“Di lain pihak, perlu juga dilakukan penyebaran informasi atau tips sederhana kepada masyarakat
jika berada dekat dengan PE yang sedang mengalami kejang. Membawa mereka ke tempat yang
jauh dari kerumunan, memberikan media yang tepat supaya lidah tidak tergigit, dll merupakan
beberapa hal yang dapat dilakukan oleh masyarakat,” ditekankan dr.Suryo.
General Manager PT Abbott Indonesia, dr.Parulian Simandjuntak mengatakan, “Sebagai wujud
kepedulian PT Abbott Indonesia terhadap PE, kami memiliki program “smiling campaign” dengan
customers support program (CSP) nya. Program ini menggarisbawahi itikad baik untuk
mengedukasi masyarakat sekaligus meningkatkan kepatuhan PE terhadap pengobatan. Program
ini menjadi sarana penyebaran informasi yang berupa leaflet, diari epilepsi serta member card
yang dapat memudahkan penyandang dalam melakukan pengobatan. Untuk detail lebih lanjut
bisa dilihat di website www.ina-epsy.org ” jelas Parulian.
”Kami juga mengharapkan dukungan dan kepedulian dari berbagai lapisan masyarakat serta
Pemerintah agar stigma negatif terhadap PE dapat diturunkan,” tutup Parulian.

0 comments:

Post a Comment

Site Search