Masalah gizi ganda masyarakat Indonesia, kekurangan gizi di
satu pihak dan kelebihan gizi di pihak lainnya menyisakan banyak pekerjaan rumah yang harus
segera dikerjakan. Meningkatnya jumlah penderita penyakit tidak menular seperti diabetes,
hipertensi dan jantung, terjadi karena gaya hidup yang kurang memperhatikan keseimbangan
gizi.
Sementara itu Indonesia masih dihadapkan dengan permasalahan defisiensi gizi, berat
badan yang rendah pada anak-anak. Meskipun sejak tahun 1995 Indonesia telah memiliki
Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS) untuk mencapai derajat gizi dan kesehatan yang baik
dan telah direvisi pada tahun 2000,
hasil penelitian menunjukkan ternyata pesan yang terdapat
dalam buku tersebut masih belum efektif. Setelah melalui beberapa tahapan diskusi para pakar,
saat ini telah dirancang usulan Pedoman Gizi Seimbang (PGS) meliputi Pesan Gizi Seimbang dan
Visualisasinya yang diharapkan dapat diaplikasikan dalam waktu dekat. Beberapa kesimpulan
tersebut mengemuka pada acara Press Conference Seminar Nasional UGM 2013 hari ini.
Prof.Dr.Ir.Mary Astuti, MS, Ketua Steering Committee Seminar Nasional UGM 2013, yang
berjudul ‘Konsumsi Pangan Sehat dengan Gizi Seimbang Menuju Tubuh Sehat Bebas Penyakit’
mengatakan, “Permasalahan pangan dan gizi di Indonesia merupakan permasalahan yang
cukup kompleks. Konsumsi makanan bergizi saja tidak cukup karena untuk mencapai derajat
kesehatan yang baik, juga diperlukan perilaku hidup bersih dan sehat seperti melakukan
aktivitas fisik yang teratur serta mengontrol berat badan agar tidak menjadi obesitas.”
“Sebagian masyarakat masih mengonsumsi makanan berdasarkan selera saja. Selain itu,
perubahan pola makan masyarakat yang disebabkan oleh kemajuan teknologi dan modernisasi
juga mempengaruhi ketidakseimbangan gizi. Misalnya, masyarakat yang tinggal di kota-kota
besar lebih menyukai makanan cepat saji, berkadar lemak dan garam yang tinggi dan rendah
serat, minum minuman dengan gula tinggi, yang apabila dikonsumsi atau dilakukan dalam
jangka waktu lama akan mempengaruhi kesehatan. Kebiasaan ini juga sudah merambah ke
masyarakat pedesaan. Selain mempengaruhi fisik, juga dapat mempengaruhi perkembangan
kognitif berupa kecerdasan berpikir dan menurunkan produktivitas kerja,” lanjutnya.
Ia memaparkan, “Kegiatan makan merupakan urusan masing-masing orang, tetapi perilaku
makan yang kurang baik dan benar dapat menimbulkan gangguan kesehatan yang bisa
mengakibatkan masalah nasional. Oleh karena itu diperlukan adanya suatu upaya untuk
mengubah atau memperbaiki perilaku makan masyarakat Indonesia. Setelah melalui diskusi
pakar yang dilakukan secara simultan yang bertujuan untuk mengetahui perkembangan
masalah gizi dan penyakit kronis tidak menular di Indonesia, menggali informasi kebijakan
pemerintah dalam peningkatan konsumsi pangan yang sehat sehingga bebas penyakit,
sosialisasi Pesan Gizi Seimbang, meningkatkan konsumsi pangan lokal yang berpotensi
mencegah penyakit kronis tidak menular serta mengetahui dan meningkatkan partisipasi
industri pangan dalam promosi dan implementasi Pesan Gizi Seimbang. Diskusi tersebut kini
telah menghasilkan suatu output, yang berupa Rekomendasi masukan Visualisasi Gizi
Seimbang berupa Tumpeng Gizi Seimbang. Tumpeng dipilih menyesuaikan dengan budaya
masyarakat Indonesia, hal ini juga dilakukan di negara-negara Asia lainnya, seperti Malaysia,
Cina, Jepang dan Thailand dengan simbol masing-masing.”
Pada kesempatan yang sama, Ir.Dody Izwardi, MA, Direktur Bina Gizi dan KIA, Kemenkes RI,
mengatakan, “Indonesia pada dewasa ini sudah dihadapkan kepada beban ganda masalah gizi,
yaitu: masalah kekurangan gizi (under-nutrition), termasuk pendek (stunting), dan masalah
kelebihan gizi (over-nutrition), termasuk kegemukan/obesitas. Data Riskesdas 2010
menunjukkan bahwa jumlah penduduk di atas 19 tahun yang mengalami kurus (wasting) telah
mencapai 11,6 persen dan overweight sebesar 22,8 persen. Sementara itu, prevalensi balita gizi
kurang dan buruk (underweight)sebesar 17,9 persen (tahun 2010). Masalah gizi pada kelompok
orang dewasa dan usia lanjut (> 19 tahun) cenderung serupa dengan masalah gizi pada anak
balita dan 6-19 tahun. Prevalensi kekurusan relatif menurun, sedangkan prevalensi kegemukan
cenderung meningkat. Kekurangan iodium ketika ibu hamil12,9 persen (tahun 2007). Kurang
gizi mikro lainnya yang juga menjadi masalah adalah defisiensi zat seng (zinc), defisiensi vitamin
D dan kalsium. Hasil analisis penyebab utama kematian di Indonesia dari tahun 1995 (SKRT)
sampai dengan 2007 (Riskesdas) menunjukkan bahwa kejadian kematian yang disebabkan oleh
PTM cenderung meningkat dan penyakit menular (PM) mulai berkurang. Penyebab utama
kematian akibat PTM pada tahun 2007 menyumbang 59,5 persen dari total kematian,
sedangkan penyebab utama kematian karena PM adalah 28,1 persen.”
“Oleh karena itu”, lanjutnya “Perlu ada perbaikan dan penyempurnaan PGS dilakukan secara
menyeluruh yang mencakup: prinsip gizi seimbang, pesan-pesan untuk berbagai kelompok usia
dan kelompok masyarakat, grafis atau visualisasi pedoman makanan (food guide graphic), serta
diikuti dengan penyusunan slogan yang berbasis pada pangan, sederhana, mudah dimengerti
dan mudah dipraktikkan oleh berbagai kelompok masyarakat.”
Lebih lanjut dikemukakannya, “Setelah menerima usulan revisi ini, Kemenkes akan membentuk
tim penyusun PGS yang terdiri dari para pakar akademisi, lintas program, lintas sektor terkait.
Menyempurnakan PGS melalui diskusi-diskusi, workshop, seminar, dan uji coba PGS di UGM, UI,
UNHAS, dan IPB. Membuat bahan-bahan KIE terkait Pedoman Gizi Seimbang serta
merencanakan untuk meluncurkan PGS pada Hari Gizi Nasional tahun 2014 oleh Presiden RI”
“Kemenkes akan melakukan sosialisasi melalui pertemuan evaluasi kegiatan pembinaan gizi
untuk seluruh pengelola gizi provinsi dan kabupaten/kota, melalui media massa (media cetak
dan elektronik), dan Menyebarluaskan PGS melalui pedoman-pedoman, leaflet, booklet, poster,
baliho, billboard”, ungkapnya
Dr.Minarto, MPS, Direktur Gizi dan Kesehatan Millenium Challenges Corporation (MCC) yang
juga menjadi narasumber Press Conference hari ini mengatakan, “Terdapat beberapa
tantangan yang dihadapi dalam mengimplementasikan gizi seimbang, pertama dukungan
lingkungan kebijakan, regulasi dan penegakan hukum yang mendukung penerapan gizi
seimbang. Kedua, adanya hambatan komunikasi, kesulitan memberikan informasi yang singkat
dan jelas. PGS perlu diajarkan, dijelaskan, disesuaikan dengan kondisi lokal. Diperlukan kader
atau penyuluh lapangan untuk memberikan penjelasan.”
“Di samping itu, adanya dampak urbanisasi, perubahan sosial ekonomi, keterbukaan informasi
termasuk pengiklanan gaya hidup yang berpengaruh pada gaya makan tidak seimbang.
Kecenderungan makan diluar rumah yang semakin meningkat, konsumsi makanan yang tinggi
lemak/minyak, tinggi karhohidrat, tinggi protein tetapi rendah sayur dan buah,” lanjutnya.
Ia mengemukakan tentang pentingnya partisipasi masyarakat dalam mensukseskan PGS,
“Masyarakat dapat menerapkan gizi seimbang berdasarkan bahan makanan setempat yang ada,
tidak perlu mahal namun bergizi, mengembangkan resep lokal, berbasis pangan lokal dan
membantu kemandirian pangan. Masyarakat dapat berpartisipasi dalam pengembangan
teknologi pengolahan makanan yang dibarengi dengan melakukan aktivitas fisik.”







0 comments:
Post a Comment